KemudianMaulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. videopengajian ceramah islam,al quran, bahasa madura, fauzi arkan, jawa lucu,ma'ruf islamudin, kharisma, qasima, qori internasional, wayang kulit, Karenakelebihan yang dimiliki Adam ‘alaihissalam, setelah penciptaannya, para malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam, sebagai penghormatan.Para malaikat yang memang selalu taat kepada titah Allah pun bersujud, melaksanakan perintah-Nya. Adapun Iblis, saat itu ia membangkang dan menolak sujud kepada Adam ‘alaihissalam, karena ia cash. Home Tausyiah Kamis, 03 Juni 2021 - 1505 WIBloading... Jangan meremehkan amalan kecil karena bisa menjadi sebab seseorang mendapat rahmat Allah dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Foto/ist A A A Syekh Ali Jum'ah dan Syekh Yusri Rusydi menjelaskan Hadis "40 Amalan, paling tinggi Manihatul 'Anzi karangan Syekh Maulana Syekh Abdullah Al-Ghumari. Siapa saja yang melakukan salah satu amalan itu dengan harapan pahala dan meyakininya, maka akan dimasukkan surga berkat amalan itu".Allah menjanjikan pahala besar bagi siapa saja yang beramal saleh sebagaimana firman-Nyaمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." QS An-Nahl 97Berikut lanjutan 40 amalan kecil berpahala besar21. Nahi munkar mencegah/melarang kemungkaran.22. Memasukkan air ke ember Mendengarkan menyampaikan sesuatu pada mereka yang kurang Menuntun orang Membantu orang yang kesusahan/kebingungan dalam menyelesaikan Membantu yang Mengangkatkan barang ke kendaraan; termasuk juga membantu memperbaiki kendaraan yang mogok di Adil dalam menyelesaikan persengkataan antara 2 pihak yang Mengucapkan perkataan yang baik/ Menyambungkan lidah mereka yang tidak bisa mengungkapkan apa yang mau dikatakan; termasuk menerjemahkan perkataan mereka yang berbeda Memberi Memberi/menambahkan tali untuk ikatan yang kurang panjang talinya pada barang Memberi tali untuk mengikat alas kaki Menghibur/menemani saudara yang sedang sedih ataupun Toleran dalam berjual Toleran dalam membayar utang dan menagih Memberi tempo untuk mereka yang kesusahan sampai mampu Toleran dalam menerima pembayaran; memaafkan kalau pembayaran barang kurang sedikit dari seharusnya karena yang membeli kurang membawa uangnya. Kemudian tidak meminta si pembeli untuk balik mengambil uang tambahan yang kurang. Atau memaafkan kalau ada uang yang agak Menutup aib Takziah untuk muslim dan muslimah yang Abdullah Al-Ghumari menyampaikan bahwa "40 amalan kecil ini di pahalanya besar. Ia juga menunjukkan hubungan kasih sayang dan saling menolong antara sesama Allah memberi taufik-Nya sehingga kita dapat mudah mengamlkannya dalam kehidupan sehari-hari. ReferensiKitab Tamam Al-Minnah bi Bayan Al-Khishal Al-Mujabah li Al-Jannah Baca Juga rhs amalan amal saleh amalan ringan berpahala besar amalan ringan seharihari amalan harian Artikel Terkini More 25 menit yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu 2 jam yang lalu – Bagi para jamaah ziarah dan pecinta wisata religi, Cikadueun bukanlah nama asing. Tempat ini biasanya dikunjungi setelah Banten Lama dan Caringin yang terdapat makam Kampung Cikadueun, Desa Cikadueun, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten ini terdapat makam Syekh yang terdapat di komplek makam Syekh Mansyur Cikadueun ini hanyalah batu nisan pada makam Syekh Makam Cikadueun memiliki orientasi utara – selatan yang saat ini kondisi jiratnya sudah dikeramik berwarna putih. Nisan sisi utara memiliki tipologi menyerupai batu nisan tipe ini memiliki bentuk dasar pipih, bagian kepala memiliki dua undakan, makin ke atas makin mengecil. Pada bagian atas badan nisan terdapat tonjolan berbentuk tanduk. Hiasan berupa sulur daun dan tanaman terdapat hampir di seluruh badan nisan tanpa ragam hias pada nisan sisi selatan memiliki tinggi ± 52 cm dan lebar ± 33 cm, nisan ini juga berupa nisan tipe Aceh dengan bentuk yang berbeda yaitu, bentuk dasar pipih atau papan dengan badan nisan dihiasi sulur yang membentuk gunungan dengan terdapat tulisan Arab “Allah” pada sisi utara dan “Muhammad” pada sisi selatannya. Jarak antar kedua nisan tersebut ± 66 cm. Syekh Maulana Mansyur untuk sebagian warga Banten memang dikenal sebagai ulama pemberani, cerdas, piawai dalam memainkan alat-alat kesenian bernafaskan Islam. Ia juga dikenal cakap dalam ilmu pertanian serta komunikasi. Sehingga dia diserahi tugas menjaga kawasan Islam Banten Selatan dan berdomisili di Menurut kisah yang berkembang di masyarakat, Syekh Mansyur berkaitan dengan riwayat Sultan Haji atau Sultan Abu al Nasri Abdul al Qahar, Sultan Banten ke tujuh yang merupakan putera Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Haji yang kooperatif dengan Belanda ini dipenuhi pemberontakan dan kekacauan di segala bidang, bahkan sebagian masyarakat tidak mengakui sebagai sultan. Karena riwayat Sultan Haji yang dianggap sangat memalukan dan memprihatinkan, timbullah berbagai cerita menyimpang dari data-data sejarah. Diceritakan, yang melawan Sultan Ageng bukanlah Sultan Haji, melainkan orang yang menyerupai Sultan Haji yang berasal dari Pulau Putri atau Mejati. Orang ini datang ke Banten ketika Sultan Haji sedang menuaikan ibadah haji ke selesai, Sultan Haji yang asli kembali ke Banten dan mendapati Banten sedang huru-hara. Untuk menghindari keadaan lebih buruk lagi, Sultan Haji pergi ke Cimanuk, tepatnya ke arah Cikadueun, sini ia menyebarkan agama Islam hingga wafat. Kemudian ia dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur cerita seperti ini dari sisi sejarah sangat lemah dan hanya dianggap cerita rakyat atau legenda yang mengandung nilai dan makna lain mengatakan, Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syehk Nawawi al Bantani. Kedua tokoh ini terlibat langsung dalam perang Diponogoro dan ditangkap Belanda. Syekh Mansyur dikejar Belanda dan akhirnya menetap di Kampung Cikadueun sementara Syekh Nawawi kembali ke lain menyebut, Syeikh Maulana Mansur merupakan tokoh agama yang sangat berperan. Setelah dua tahun berkuasa, Sultan Maulana Mansurudin kemudian berangkat ke Bagdad Irak untuk mendirikan Negara Banten di tanah Irak, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul beberapa waktu Pangeran Adipati Ishaq dibujuk untuk menggantikan Sultan Maulana Mansyurudin. Ia pun terbujuk dan diangkat menjadi Sultan resmi Banten, namun di sisi lain Sultan Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya karena beralasan Sultan Maulana Mansyurudin masih hidup, maka penggantian tahta kesultanan harus menunggu pendapat ini kemudian menjadi kekacauan waktu itu. Suatu ketika, datanglah seorang pria yang mengaku sebagai Sultan Maulana Mansyurudin dan ia pun dipercaya oleh masyarakat yang mengaku-ngaku tersebut kemudian membawa kekacauan di Banten. Kekacauan itu sampai ke telinga Sultan Maulana Mansyurudin yang asli. Kemudian memutuskan pulang dan menghentikan kekacauan. Kedatangannya mampu menyelesaikan kekacauan dan ia pun kembali memimpin Kesultanan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam. Suatu ketika sampai ke Cikoromoy, Pandeglang, ia menikahi seorang perempuanOh ya, nama Cikadueun juga melekat dengan Batu Quran. Lokasi Batu Quran ini dahulu diyakini pijakan kaki Syekh Maulana Mansyur ketika hendak pergi berhaji ke tanah suci, Syekh Maulana Mansyur pulang dari Mekkah, dia muncul bersama dengan air dari tanah yang tidak berhenti mengucur. Banyak orang menyakini, air yang mengucur tersebut adalah air zam berendam di pemandian Batu Quran yang terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya di Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa 29/12/2020.Syekh Maulana Mansyur kemudian bermunajat kepada Allah dengan salat dua rakaat di dekat keluarnya air tersebut. Selesai salat, ia mendapat petunjuk untuk menutup air tersebut dengan Alquran. Atas izin Allah air tersebut berhenti mengucur dan Alquran tersebut berubah menjadi batu sehingga dinamakan “Batu Quran”.Secara kasat mata batu dengan ukuran meter tersebut akan terlihat seperti batu pada umumnya. Dengan cara apapun dan dengan alat apapun tidak akan bisa terlihat tulisan Alquran di batu tersebut. Namun, menurut kepercayaan tulisan Alquran dapat dilihat dan dibaca dengan mata sekarang, tempat ini masih ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk berziarah. Pada momen tertentu seperti menjelang Ramadan, tempat ini dipadati masyarakat, baik dari Banten atau daerah lain. HilalAdvertisement Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sulthon Haji, beliau adalah putra Sulthon Agung Abdul Fatah Tirtayasa raja Banten ke 6. Sekitar tahun 1651 M, Sulthon Agung Abdul Fatah berhenti dari kesutanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sulthon Maulana Mansyurudin dan belaiu diangkat menjadi Sulthon ke 7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sulthon Banten kemudian berangkat ke Bagdad Iraq untuk mendirikan Negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sulthon Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sulthon Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten. Setibanya di Bagdad, ternyata Sulthon Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sulthon Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah Cina, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu. Selama Sulthon Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli Cina, Sulthon Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sulthon resmi Banten, tetapi Sulthon Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sulthon Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sulthon Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sulthon Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sulthon Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sulthon Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli Cina. Selama menjabat sebagai Sulthon palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sulthon dan keluarganya termasuk ayahanda Sulton yaitu Sulthon Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sulthon Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang Tubagus Bu`ang, beliau adalah keturunan dari Sulthon Maulana Yusuf Sulthon Banten ke 2 dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sulthon Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sulthon Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sulthon Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sulthon Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sulthon Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sulthon Agung Tirtayasa. Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sulthon Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sulthon Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli Cina, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sulthon Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sulthon Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain memjadi seorang Sulthon beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya. Dalam perjalanan menyiarkan islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten Nyi Mas Ratu Sarinten dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di pasarean cikarayu cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan. Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sulthon Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bi`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara ” saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya “. Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung surat Yasin di lehernya dan diberi nama si pincang atau Raden langlang buana atau Ki Buyud Kalam. Ternyata harimau itu adalah seorang Raja/Ratu siluman harimau dari semua Pakuwon yang 6. Pakuwon yang lainnya adalah 1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa 2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana 3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang 4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya 5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri 6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang. Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan. Keterangan a. Sulthon Agung Abdul Fatah Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan Kecamatan Tirtayasa Kawadanaan Pontang Serang Banten. b. Cibulakan terdapat di muara sungai Kupahandap Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang Banten c. Makam Cicaringin terletak di daerah Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten d. Ujung Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur Kawadanaan Cibaliung kebupaten Pandeglang Banten e. Gunung Anten terletak di kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung f. Pakuan Lumajang terletak di Lampung g. Gunung Pangajaran terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat latihan silat macan. h. Majau terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes Pandeglang Banten i. Mantiung terletak di desa sumur batu kecamatan Cikeusik Kewadanaan Cibaliung Pandeglang. j. Ki Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung kecamatan Cimanuk Pandegang Banten. Sejarah Syekh Maulana Mansyur. Syech Maulana Mansyurudin kasohor nami Abu Nashr, Abdul Qohar, sareng Sultan Haji, anjeuna putra Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fattah. Ceuk sakaol nalika taun 1651 M, Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah liren tina kasultanan, dipasrahkeun ka putrana nyaeta Maulana Mansurudin Sultan katujuh Banten, kinten-kinten 2 taun janten Sultan teras angkat ka Mekah. Kasultanan dipasrahkeun ka putrana nyaeta Sultan Abdul Fadli, nalika angkat ka Mekah Syech Maulana Mansur dipasihan wasiat ku ramana nyaeta upami angkat ka Mekkah ulah mampir ka tempat sejen kedah langsung ka Mekkah lajeng ti Mekkah kedah langsung ka Banten. Dina sajeroning lalampahan ka Mekkah Syech Mansur hilap ka wasiat sepuhna anjeuna singgah heula ka pulau Majeki, di dieu anjeuna nikah sareng ratu jin gaduh putra hiji. Salami Maulana Mansyur di pulau Majeki, Sultan Adipati Ishaq di banten kena rayuan Walanda nu antukna anjeuna janten diangkat sultan ku Walanda. Nanging sultan Abdul Fattah teu nyatujuan kedah ngantosan Maulana Mansyur, lajeng aya kakacauan nu ahirna dongkap kapal anu ngaku Maulana Mansyur sarta nyandak barang-barang ti Mekkah, dongkapna Sultan palsu ti Palabuhan Banten ka Surosowan karaton Banten tetep ngangken Sultan Haji Abu Nashri nu ahirna jalmi-jalmi percanten, mung Sultan Ageng nu teu percanten, padahal Sultan palsu the Raja Pendeta turunan Jin ti pulo Majeki. Sultan Agen dipikahewa ku sarerea, lajeng aya peperangan antawis Sultan Ageng sareng Sultan Haji palsu, nu ngabela Sultan Ageng nyaeta Tubagus Buang. Salajengna kabar ayana perang ka Maulana Mansyur nu aya di pulo Majeki yen aya perang ageing di Banten lajeng anjeuna emut kana wasiat sepuhna nu tos dilanggar, anjeuna angkat ti pulo Majeki ka Mekkah nyuhunkeun dihampura tina sagala dosa di Baitullah. Saparantos kitu rupina tobat ti anjeuna ditampi ku Gusti Allah SWT sarta dipasihan sababaraha elmu panemu sareng karomah. Anjeuna emut ka Banten sareng izin ti Allah SWT anjeuna neuleum di sumur zam-zam lajeng muncul di Cibulakan, Cimanuk bari nyandak kitab suci Al Qur'an dipanangana lajeng eta Qur'an janten batu nu aya tulisan Qur'an eta tempat ayeuna katelahna "Batu Qur'an" nu dikurilingan ku cai. Sadongkapna ka kampung Cikoromoy teras nikah ka Nyai Sarinten gaduh putra namina Muhammad Sholih jujulukna Kyai Abu Sholih, salami di Cikoromoy anjeuna ngajarkeun syareat Islam. Nyai Sarinten pupus teras dimakamkeun di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Syech Maulana Mansyur pindah ka Cikadueun bari nyandak khadam Ki Jemah teras nikah ka Ratu Jamilah ti Caringin Labuan. Dina hjiji waktos Syech Maulana Mansyur ngadangu soanten meong heras pisan, barang ditingali sihoreng eta meong dijapit ku kima, eta meong meredih menta tulung ka Syech Mansyur sangkan ditulungan, kumargi Syech Mansyur wali sareng ngartos kana basa sato sapada harita eta meong tiasa dilepaskeun tina kima. Saparantos kitu eta meong dibeat ku Syech Mansyur nu eusina kieu "Maneh meong ulah ngaganggu ka sakur anak turunan kami", eta meong dikalungan surat Yasin dibehengna dipasihan nami si Pincang atanapi Raden Langlang Buana, Ki Buyut Kalam. Eta Meong janten rajana meong di 6 tempat nyaeta Ujung Kulon ratuna Ki Maha Dewa, Gunung Inten ratuna Ki Bima Laksana, Pakuwon Lumajang ratuna Raden Singa baruang, Majau ratuna Raden putrid, Manitung Nyayat nu sirahna dicalikan ku Si Pincang. Syech Maulana Mansyur pupus di Cikadueun, Pandeglang, Banten sarta dimakamkeun diditu taun 1672 M. KESULTANAN yang pada masa jayanya meliputi daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 Banten mempunyai arti dan peranan yang penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas pulau Sumatra dan Jawa. Posisi Banten yang sangat strategis ini menarik perhatian penguasa di Demak untuk menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasi menguasai Banten. Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda Pajajaran. Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang Banten Hulu. Surosowan Banten Lor hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut berita Joade Barros 1516, salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menya-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam. Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga 1524 dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justeru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten bagian dari wilayah Pajajaran bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama laskar-marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan Banten Lor didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang 1568, Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun 1552-1570. Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesnatren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha yang telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. Akan tetapi, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan Haji, yang bekerjasama dengan kompeni Belanda. Ketika itu Sultan Haji diserahi amanah oleh ayahnya sebagai Sultan Muda yang berkedudukan di Surosowan. Akibat kerjasama kompeni Belanda dengan Sultan Haji, akhirnya terjadilah perang dahsyat antara Banten dan kompeni Belanda. Perang berakhir dengan hancurnya Keraton Surosowan yang pertama. Meskipun keraton tersebut dibangun kembali oleh Sultan Haji melalui seorang arsitek Belanda dengan megahnya, namun pemberontakan demi pemberontakan dari rakyat Banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Perang gerilya bersama anaknya, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar dan sekaligus menantunya. Sejak itu, Kesultanan Banten tidak pernah sepi dari peperangan dan pemberontakan melawan kompeni hingga akhirnya Keraton Surosowan hancur untuk yang kedua kalinya pada masa Sultan Aliuddin II 1803-1808. Ketika itu ia melawan Herman Willem Daendels. Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh para ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekannya. Hal ini terlihat dari berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh para kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa “Geger Cilegon” pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid w. 28 Juli 1888 dan “Pemberontakan Petani Banten” pada tahun 1888. Keberadaan dan kejayaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah; mimbar kuno yang berukir indah; atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua. Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Keraton Surosowan yang hanya tinggal puing-puing dikelilingi oleh tembok tembok yang tebal, luasnya kurang lebih 4 ha, berbentuk empat persegi panjang. Benteng tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang telah runtuh. Dalam situs lahan kepurbakalaan Banten masih ada beberapa unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.***Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-11, 2003. pp 236-239. Be the first to like this post.

amalan syekh maulana mansyur